Survei Toleransi

Sabtu, 28 Juli 2012

Penelitian lembaga studi Center of Strategic and International Studies menunjukkan toleransi beragama orang Indonesia tergolong rendah. "Masyarakat menerima fakta bahwa mereka hidup di tengah keberagaman. Tapi, mereka ragu-ragu menoleransi keberagaman," kata Kepala Departemen Politik dan Hubungan Internasional CSIS, Philips Vermonte, dalam diskusi bertajuk "Demokrasi Minim Toleransi" di kantornya. (tempo.co.id, 5 Juni 2012).

Philips mencontohkan, masyarakat menerima kenyataan hidup bertetangga dengan orang yang berbeda agama. Tapi, masyarakat relatif enggan memberikan kesempatan kepada tetangganya untuk mendirikan rumah ibadah. Dalam survei CSIS, sebanyak 59,5 persen responden tidak berkeberatan bertetangga dengan orang beragama lain. Sekitar 33,7 persen lainnya menjawab sebaliknya. Penelitian dilakukan pada Februari lalu di 23 provinsi dan melibatkan 2.213 responden. Saat ditanya soal pembangunan rumah ibadah agama lain di lingkungannya, sebanyak 68,2 persen responden menyatakan lebih baik hal itu tidak dilakukan. Hanya 22,1 persen yang tidak berkeberatan.

Saya tidak membaca secara lengkap hasil survei CSIS karena memang tidak tersedia bahannya secara luas, apalagi dipublikasikan secara online. Barangkali hanya wartawan yang memiliki, yang kemudian dipublikasikan dalam medianya. Itu pun tidak seluruhnya. Mudah-mudahan apa yang saya baca di media sama dengan hasil survei CSIS. Berdasarkan angka-angka survei di atas, CSIS (dalam hal ini Philips sebagai salah satu Kadep) menyimpulkan tingkat toleransi beragama masyarakat ternyata masih rendah.

Ada yang ingin saya sampaikan di sini. Pertama, saya masih belum bisa mengerti dengan angka-angka. Maafkanlah saya yang bukan ahli statistik. 33,7 persen berkeberatan bertetangga dengan orang beragama lain, padahal persentase yang lebih banyak (59,5) tidak keberatan, tapi hasil akhirnya malah disimpulkan intoleran. Selain itu saya rasa setiap orang memiliki pendapat pribadi, termasuk dengan siapa ingin bertetangga. Termasuk pula dengan siapa ia ingin berkenalan, dengan siapa ia ingin berteman, dengan siapa ia ingin menikah, dan sebagainya. Pendapat seperti ini sebenarnya wajar-wajar saja. Yang dilarang bila mengganggu orang lain.


Kedua, bangsa Indonesia merupakan bangsa dengan jumlah penganut agama Islam terbesar, bahkan sedunia. Dari 2.213 responden saya meyakini komposisi penganut agama Islam diberi porsi paling banyak. Dengan demikian hal ini diharapkan menggambarkan kenyataan. Dengan kata lain, kesimpulan rendahnya toleransi beragama masyarakat disebabkan rendahnya toleransi beragama umat Islam. Umat Islam umat yang intoleran. Penggiringan opini seperti ini sering saya baca dan dengar di media. Entah kenapa, kebanyakan media tidak imbang.

Mencontoh survei CSIS saya mencoba membantu membuatkan bahan untuk survei. Siapa tahu bisa diambil, atau mungkin oleh lembaga lain. Tujuannya untuk memperkuat stigma ’intoleransi’ umat Islam. Meskipun tidak secara tegas menyasar umat Islam, tapi Anda akan merasakan sendiri.

Setujukah Anda dengan perkawinan beda agama?
Setujukan Anda dengan perkawinan sesama jenis?
Setujukan Anda dengan perilaku homoseksual?
Setujukah Anda dengan hubungan seksual tanpa pernikahan asalkan dilakukan suka sama suka?
Setujukah Anda untuk tidak memakan daging babi meskipun dihidangkan dalam acara resmi?
Setujukah Anda dengan pemurtadan di lingkungan Anda?
Setujukah Anda untuk menghadiri peribadatan agama lain karena mendapatkan undangan?
Setujukah Anda dengan munculnya aliran yang menyimpang dari pokok agama Anda namun tetap mengklaim sebagai bagian agama Anda?

Jika kebanyakan Anda menjawab tidak setuju, maka bersiap-siaplah, Anda akan dikenai tuduhan ’intoleran’. Lucu bukan. Pertanyaan serupa di ataslah yang menjadi standar untuk menggambarkan toleran tidaknya masyarakat. Opini dan pemberitaan di medialah yang memvonis umat Islam. Tentu saja dengan versi mereka. Umat Islam disuruh toleran menurut versi mereka.

Umat Islam dinilai toleran bila mau menikah dengan orang beragama lain, makan makanan haram, membiarkan penyimpangan agama, mengikuti peribadatan agama lain, dan sebagainya. Kalau memang seperti itu mestinya umat Islam bangga dituduh tidak toleran. Tidak toleran terhadap larangan agama, penyimpangan, dan kemungkaran. Biarlah keteguhan memegang ajaran agama dinilai intoleran. Daripada toleran namun menggadaikan keimanan. Tul nggak.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Saya orang beragama Islam tapi gak setuju dengan cara pandang Anda....maaf

Anonim mengatakan...

terkesan memojokan karena dilihat secara tidak mendalam ..

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)